Pusdakota: Menuju Masyarakat Berdaya dan Berkeadilan
Selasa, 09 Oktober 2007
Komunitas Merakit Keranjang Takakura
Kewirausahaan Sosial Berbasis Kearifan Lingkungan, di Pusdakota, antara lain diwujudkan lewat perakitan Keranjang Pengomposan Takakura. Sebagaimana diketahui, Keranjang Pengomposan Takakura merupakan hasil riset antara Pusdakota, pihak Jepang dan Pemerintahan Kota Surabaya.

Keranjang ini dirakit dari bahan-bahan sederhana, antara lain keranjang, dua batalan sekam, kardus, kain, cetok, manual, dan kompos yang berasal dari sampah organik warga.

Memang, Keranjang Pengomposan Takakura merupakan terobosan teknologi tepat guna, yang tidak saja mampu menyelesaikan sebagian masalah sampah rumah tangga, namun juga diharapkan bisa mendukung hal-hal lain, misalnya pengembangan kewirausahaan berbasis kearifan lingkungan. Sebab, boleh dikata, keranjang takakura itu diversivikasi usaha pemasaran kompos.

Komunitas RW I Rungkut Lor Surabaya telah memilah dan mengolah sampah sejak tahun 2000. Sejak tahun 2000 - 2005, kompos yang dibuat dengan metode open windrow dipasarkan dalam bentuk kompos biasa, yang harga rata-rata per kg-nya tidak lebih dari Rp 1500. ”Tapi bila dipasarkan dengan Keranjang Takakura, harga bisa terdongkrak. Secara ekonomi komunitas yang terlibat juga ikut merasakan hasilnya,” kata Parwito sambil mengibaratkan bahwa kayu yang telah diubah jadi mebel lebih punya nilai jual ketimbang yang dijual dalam bentuk gelondongan.

Perakitan yang dikerjakan komunitas, antara lain pengisian sekam ke bantalan sekam, penjahitan bantalan sekam, pemotongan kardus, penyediaan manual, pembuatan cetok, dan pengisian kompos ke dalam keranjang. Semuanya dilakukan dibawah asistensi Pusdakota. ”Kami melakukan check and recheck atas Keranjang Takakura yang dirakit komunitas sebelum sampai ke pengguna,” kata Parwito.

Karena permintaan akan keranjang ini terus meningkat dari waktu ke waktu, komunitas di wilayah Rungkut Lor Surabaya mengerjakan perakitan tidak saja di Pusdakota, namun juga di rumah masing-masing. Perakitan keranjang juga melibatkan kaum difabel yang tergabung dalam Paguyuban Daya Mandiri, yakni forum kaum difabel di sekitar Rungkut Surabaya yang dibentuk Pusdakota sejak tahun lalu.

Saat merakit keranjang bersama-sama di Pusdakota, para perakit juga memperoleh manfaat tambahan. Staf Pusdakota, misalnya, juga mentransfer ilmu pembukuan sederhana, membibit yang baik, ataupun lain hal yang bersifat praktis dan bermanfaat bagi mereka.

”Perakitan juga menjadi ajang pertemuan dan sharing antarmereka,” kata Parwito.


Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket


Cetok Komunitas

Salah satu alat dalam Keranjang Pengomposan Takakura adalah cetok. Semula, cetok untuk Keranjang Pengomposan Takakura dipasok pabrik. Namun kini, cetok tersebut telah diupayakan pembuatannya oleh satu komunitas pecinta lingkungan, yakni Komunitas Bantaran Kali Bratang Surabaya.

Komunitas Bantaran Kali Bratang, Surabaya memang sangat kreatif. Berbagai macam sampah anorganik mereka daur ulang menjadi barang-barang yang berguna. Kaidah 3R dalam pengelolaan lingkungan, yakni Reuse, Reduce, dan Recycle sedapat mungkin mereka terapkann untuk lingkungan. ”Kami memang tinggal di bantaran kali. Tapi kami tidak ingin dianggap sebagai perusak lingkungan. Prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan kami usahakan bisa terapkan sampai ke lingkungan keluarga Kami mengelola sampah. Kami memanfaatkan barang-barang bekas ataupun mendaur ulang,” ujar Darsono, salah satu aktivis lingkungan hidup dari bantaran kali Bratang Surabaya.

Untuk masalah daur ulang barang bekas, mereka tidak hanya menghasilkan kerajinan dari bahan kayu bekas, keranjang pakaian yang berasal dari tali bekas, akan tetapi mereka juga mampu membuat cetok dari paralon bekas. Cetok yang mereka hasilkan, menjadi salah satu alat penting untuk Keranjang Takakura. Belakangan, mereka namakan cetok tersebut sebagai ”cekom”, yang artinya, cetok komunitas. ”Karena ide dan pengerjaan cetok ini dilakukan oleh komunitas,” ujar Sudarsono lagi.

Ide pembuatan cetok komunitas muncul setelah peluncuran Keranjang Takakura ke publik Surabaya. Semula, keranjang pengomposan hasil riset antara Pusdakota, KITA, Pemerintahan Kitakyusu dan Pemerintahan Kota Surabaya ini, memakai cetok hasil buatan pabrik. Sejak Komunitas Bantaran Kali memproduksi cekom, Pusdakota lebih memilih untuk memakai cetok mereka. ”Kadang-kadang kami pesan sampai 6000 cetok untuk ribuan keranjang,” ujar Parwito, staf Program Kewirausahaan Sosial Berbasis Kearifan Lingkungan, Pusdakota.

Supardi, salah satu warga bantaran kali mengaku, sejak adanya Keranjang Takakura dan perjumpaan intens Pusdakota dengan komunitasnya, di kalangan warga terjadi pelipatgandaan kreativitas. Barang-barang hasil daur ulang produksi warga pun jenisnya terus bertambah.

”Kami ingin mengubah persepsi bahwa warga bantaran kali hanya bisa demo. Persepsi masyarakat atas warga yang menghuni bantaran kali biasanya negatif. Kami dianggap sebagai biang kekumuhan kota dan penyebab banjir. Kami ingin buktikan bahwa kami bisa menjaga lingkungan dengan baik.,” ujar Haryono, warga yang lain.

Cetok komunitas dirakit dari bahan paralon bekas yang banyak terdapat di sekitar bantaran kali Bratang. Sebelum dibuat cekom, umumnya warga memanfaatkannya sebagai pot gantung untuk menanam bunga. Dan kini, setelah permintaan cekom terus meroket dari waktu ke waktu, warga rutin membuat cetok. ”Karena sampai kehabisan sisa paralon, kami memanfaatkan paralon baru juga,” ujar Haryono.

Cetok komunitas tak hanya menjalankan fungsi daur ulang barang bekas menjadi sesuatu yang bermanfaat ataupun menambah income keluarga, tapi yang paling penting adalah sarana silaturrahmi dan diskusi warga. ”Lewat pembuatan cetok, warga bertemu, membina kerukunan, bertukar pikiran dan kreativitas. ”Kini saban hari kampung penuh canda dan tawa. Tidak hanya para bapak, ibu-ibu dan remaja juga membuat cetok.

Seorang remaja mengaku, keinginannya untuk memiliki tas sekolah baru kesampaian setelah ia juga membantu membuat cetok.

Jujuk, salah satu ibu yang ikut membuat cetok menyatakan, memperoleh penghasilan Rp 90 ribu untuk pembuatan cetok selama 6 hari. Ia bekerja serabutan, mulai dari membuat pola, membuat gagang, atau menghaluskan.

Pembuatan cetok komunitas tidak sesederhana yang dikira. Prosesnya saja paling tidak ada 5 tahap, yakni: membuat pola, menggergaji, mengikir, menghaluskan, dan memasang ke gagang. Ini harus dilakukan dengan kecermatan tinggi.

Belakangan ini, cetok komunitas tersebut tidak hanya dipasarkan ke Pusdakota, namun mereka juga telah menerima pesanan dari berbagai pihak. ”Paling banyak dari toko-toko bunga,” ujar Supardi sembari berharap kreativitas warga terus meningkat dari waktu ke waktu. *vit

Label:

posted by keranjangtakakura @ 06.55  
9 Comments:
Posting Komentar
<< Home
 

Keranjang Takakura

Previous Post

Archives

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Saling berbagi kisah inspiratif akan membuka hati dan membangkitkan pintu-pintu kreativitas. Kirimkan pengalaman Anda memakai Keranjang Takakura ataupun kisah-kisah Anda yang berhubungan dengan kepedulian terhadap lingkungan ke office@pusdakota.org.

Kisah Anda bisa kami muat di media-media terbitan kami (blog ini ataupun Majalah Pendopo)

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 

Shoutbox


Free shoutbox @ ShoutMix

Jumlah Kunjungan

hit counter

Partner Link

Pusdakota

UBAYA

KITA

ECOTON

Alpha Savitri

Tirta Amartya

Terranet

Cakfu

iges

YDSF

menlh

bintari

UNESCAP

togarsilaban

balifokus