Pusdakota: Menuju Masyarakat Berdaya dan Berkeadilan
Rabu, 10 Oktober 2007
Pengertian Keranjang Takakura
Keranjang Takakura merupakan alat pengomposan skala rumah tangga yang ditemukan Pusdakota bersama Pemerintah Kota Surabaya, Kitakyusu International Techno-cooperative Association, dan Pemerintahan Kitakyusu Jepang pada tahun 2005. Keranjang ini dirakit dari bahan-bahan sederhana di sekitar kita yang mampu mempercepat proses pembuatan kompos.

Satu keranjang standar dengan starter 8 kg dipakai oleh keluarga dengan jumlah total anggota keluarga sebanyak 7 orang. Sampah rumah tangga yang diolah di keranjang ini maksimal 1,5 kg per hari.


Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket


Berikut ini petunjuk pemakaiannya:

Jenis-jenis sampah yang diolah:


  • Sisa sayuran. Idealnya sisa sayuran tersebut belum basi.
    Namun bila telah basi, cuci sayuran tersebut terlebih dahulu, peras, lantas
    buang airnya.

  • Sisa nasi.

  • Sisa ikan, ayam, kulit telur dll.

  • Sampah buah yang lunak (anggur, kulit jeruk, apel, dan
    lain-lain). Hindari memasukkan kulit buah yang keras seperti kulit salak.

Cara kerja:
Sampah dapur yang dimasukkan di Keranjang Takakura sebaiknya dalam materi yang kecil. Semakin kecil materi, semakin mudah diuraikan. Untuk sisa sayur dan buah, potonglah kecil-kecil.
Gali starter kompos di dalam keranjang tersebut dengan cetok. Luasan dan kedalaman galian, sesuaikan dengan banyaknya sampah yang hendak dimasukkan.
Masukkan sampah pada lubang yang digali. Tusuk-tusuk sampah tersebut dengan cetok.
Timbun sampah tadi dengan kompos di tepian lubang.
Tutup kompos tersebut dengan bantalan sekam.
Tutup permukaan keranjang dengan kain.
Yang terakhir, tutuplah dengan tutup keranjang.

Catatan:
Letakkan Keranjang Takakura di tempat yang terhindar dari sinar matahari langsung.
Bila kompos kering, perciki air bersih sambil diaduk merata. Suhu ideal adalah 60 derajat celsius.

Cara Pemanenan
Bila kompos di dalam Keranjang Takakura telah penuh, ambil 1/3-nya dan kita matangkan selama seminggu di tempat yang tidak terkena sinar matahari secara langsung. Sisanya yang 2/3 bisa kita gunakan kembali sebagai starter untuk pengolahan berikutnya.

Label:

posted by keranjangtakakura @ 10.44   1 comments
Sejarah Penemuan Keranjang Takakura
Gerakan pengelolaan lingkungan yang dilakukan Pusdakota dengan Warga RW 14 Rungkut Lor Surabaya sejak tahun 2000, di samping menginspirasi berbagai pihak juga mempertemukan kami, Pusdakota dengan Pemerintah Kitakyusu Jepang dan Kitakyusu International Techno-cooperation Association (KITA).

Tahun 2005, Pusdakota menjalin kerjasama dengan Pemerintah Kota Surabaya, KITA, Pemerintah Kitakyusu Jepang, di bidang riset teknologi dan pengorganisasian masyarakat.

Untuk kerjasama di bidang teknologi, kesepakatannya adalah optimalisasi teknik-teknik pengelolaan sampah yang telah dilakukan Pusdakota bersama komunitas dan optimalisasi metode-meode pengelolaan sampah yang sudah berkembang di Surabaya dengan segenap potensi yang tersedia.

Dengan riset itu Pusdakota berharap, Indonesia akan punya banyak alternatif metode untuk menangani sampah. Teknologi tersebut kami harapkan bisa diterapkan siapa pun dengan bahan baku yang mudah dan murah. Yang lebih mendasar adalah, teknologi ini diharapkan mampu memberi inspirasi tentang keterjagaan diri untuk senantiasa memberikan yang terbaik bagi lingkungan sekitar. Bukankah teknologi haruslah dimaknai lebih dari sekadar sebagai alat bantu, namun sarana kita untuk menempuh tujuan maknawi?

Penemuan Keranjang Takakura adalah citra semangat dan kerja keras kami terhadap pengelolaan sampah. Kami melakukan penelitian puluhan keranjang untuk membuat perbandingan formulasi yang paling efektif dalam mereduksi sampah, dengan puluhan kolom yang harus diisi setiap satu jam sekali selama dua bulan. Belum lagi kami harus menentukan pilihan metode yang paling sesuai sampai tiga kali.

Keranjang Takakura memang belum final dan bukan yang terbaik. Maka kami terbuka terhadap inovasi-inovasi untuk selalu menemukan yang lebih baik. Penemuan atas Keranjang Takakura saat itu tidak langsung kami sampaikan kepada masyarakat sebelum kami benar-benar menemukan kelayakannya, antara lain lewat praktik-praktik yang kami lakukan. Semua keluarga staf Pusdakota disiplin memakai dan merawat hasil kerja keras itu untuk semakin memberi penyempurnaan. Proses awal, pengolahan, perawatan, pematangan, pemanenan, hingga kemanfaatan hasil keranjang sakti akhirnya kami sepakati berdasarkan lesson learned kami.

Kenapa unit komposter ini dinamakan Takakura? Pakar Kompos Koji Takakura sangat berjasa atas penemuan teknologi ini. Sangat pantas bila Takakura dijadikan nama bagi keranjang pengomposan itu. Takakura – juga Tetsuya Ishida dari KITA -- pernah mengada bersama bahu-membahu bersama demi perbaikan lingkungan hidup.


Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket


Hak Paten

Saat kami berproses menemukan Keranjang Takakura bersama pihak Jepang, kami pun memprediksi bahwa suatu saat unit komposter ini akan menarik minat banyak orang. Tentu secara alami akan muncul persepsi sederhana dan manusiawi, kebanyakan orang sekarang tidak mau repot menciptakan sesuatu.. Kita terbiasa dengan budaya instan. Sementara Pusdakota bukan lembaga profit oriented yang mengumpulkan laba sebanyak-banyaknya untuk kepentingan organisasi. Kami pun tidak ingin keranjang sakti ini nantinya dikomersialisasikan demi keuntungan indivisu, kelompok atau lembaga tertentu.

Kami pun menemukan salah satu alternatif solusi yaitu HAKI. Untuk satu keputusan mematenkan produk ini pun kami berdebat panjang. Salah satunya adalah anggapan bahwa HAKI adalah produk kapitalisme.

Tapi toh memang produk ini hasil karya dan kerja keras kami. Dan kami diingatkan kembali oleh visi lembaga kami bahwa kami berdiri hanya untuk menjadi jembatan bagi siapa pun menuju masyarakat berdaya dan berkeadilan. Kami ingin melipatgandakan energi sosial masyarakat. Itu menjadi alasan kami mematenkan Keranjang Takakura.
Singkatnya, HAKI akan memperkecil kemungkinan pihak-pihak yang ingin mencari keuntungan materi bagi diri atau kelompok. Yang kedua, agar tidak terjadi kesalahan prinsipil terhadap penyediaan Keranjang Takakura. Soalnya, jika terjadi kegagalan, komplinnya pasti ditujukan kepada kami.

Selanjutnya adalah hal yang berkait dengan mekanisme kontrol publik yang transparan dan akuntabel terhadap penggunaan Keranjang Takakura. Kami ingin ada ukuran yang pasti tentang tingkat partisipasi masyarakat dalam mereduksi sampah, setidaknya lewat keranjang ini. Kami punya nomor register. Berapa buah keranjang ini beredar di masyarakat, kami memiliki datanya.

Pusdakota mengajukan permohonan untuk memperoleh HAKI pada 20 April 2006. Tahap pemeriksaan formalitas telah terpenuhi dengan turunnya surat bernomor H3.HC.02.Pol.012/1173, tertanggal 29 Maret 2006.

Sesungguhnya kami membuka diri bagi siapa pun yang ingin menyediakan atau memproduksi Keranjang Takakura, namun syaratnya, sistem monitoring dan karakteristik komponen di dalamnya memiliki fungsi dan kualitas yang sama atau lebih baik dengan Takakura Home Method. Beberapa jaringan kami di tingkat komunitas telah kami latih untuk melakukannya, sesuai dengan standar tersebut. Peran komunitaslah yang nantinya muncul, bukan peran individu atau golongan.

Ini juga merupakan media pembelajaran agar warga dapat menjalankan mekanisme pengelolaan sampah di wilayahnya secara mandiri. Intinya, dari waktu ke waktu besarnya partisipasi pengelolaan sampah seiring dengan meningkatnya jumlah Keranjang Takakura yang tersebar, signifikan mereduksi sampah organik yang dibuat ke TPS.
Jika sistem dijalankan dengan disiplin hasilnya pasti bagus. Alangkah indahnya bila komunitas dan kader-kader pengelola, secara rutin, mungkin pada hari lingkungan, bersamaan menyampaikan perkembangan pengelolaan sampah, kualitas dan kuantitasnya.Ini memudahkan kota untuk membuat langkah strategis dalam pengelolaan sampah pada masa mendatang. Bukankah kita telah sepakat bahwa sampah tidak dapat diatasi oleh satu pihak saja?

Untuk Keranjang Takakura, kami juga selalu membuka diri untuk pembelajaran baru. Beberapa kali teman-teman dari perguruan tinggi, bahkan siswa SMP menginovasi atau menyempurnakan Keranjang Takakura. Kami berterima kasih pada keluarga besar UNESA, ITB, UNNIBRAW, UPN, ITS, UBAYA dan NGO’s di Bali, Semarang, Tulung Agung, Semarang, Keluarga Mantan Menteri Kehutanan Jamaludin Soeryohadikusumo, PKK Kodya Surabaya dan banyak komunitas lain yang tak mungkin kami sebutkan satu persatu.. * broto

Label:

posted by keranjangtakakura @ 10.44   5 comments
Pertanyaan-pertanyaan Umum Seputar Keranjang Takakura
Sejak diluncurkan tahun lalu, Keranjang Takakura telah dipakai puluhan ribu keluarga. Apa saja pertanyaan-pertanyaan pemakainya?
----------------------------------------------------------------------


Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket


Di mana tempat yang tepat untuk menempatkan Keranjang Takakura?
Salah satu kelebihan Keranjang Takakura adalah praktis, mudah dipindah-pindah dan bisa ditempatkan di mana saja. Bahkan di dapur pun bisa. Prinsipnya, tempat tersebut tidak terkena sinar matahari langsung dan memiliki sirkulasi udara yang bagus.

Apakah sampah yang dimasukkan dalam Komposter Takakura akan menimbulkan belatung?
Tidak ada belatung pada Keranjang Takakura kendati setiap hari, para pemakai memasukkan sampah. Asal belatung adalah dari telur lalat. Kendatipun lalat telah bertelur pada makanan dan makanan tersebut dimasukkan ke Keranjang Takakura, telur lalat tersebut tidak akan menjadi belatung karena bahan-bahan yang ada di dalam keranjang takakura, misalnya, sekam, tidak memungkinkan perkembangbiakan belatung.

Apakah timbul bau busuk dalam pemakaian?
Tidak. Namun untuk sayuran basi sebaiknya dicuci dulu dan ditiriskan, baru dimasukkan ke Keranjang Takakura.

Apakah Keranjang Takakura bisa dipakai untuk keluarga besar?
Keranjang Takakura dedesain untuk ukuran sampah rumah tangga sehari-hari dengan maksimum penghuni 7 orang. Bila jumlah anggota keluarga lebih dari itu, sebaiknya memakai Keranjang Takakura lebih dari satu buah.

Bagaimana kita tahu, Keranjang Takakura berfungsi dengan baik atau tidak?
Cara paling gampang adalah dengan meletakkan telapak tangan kita kurang lebih 2 cm di atas kompos. Bila terasa hangat, bisa dipastikan proses pengomposan berjalan dengan baik. Bakteri yang mendukung proses pengomposan sedang bekerja. Bila telapak tangan tidak terasa hangat, bakteri tidak bekerja maksimal. Bisa jadi kompos starter tersebut terlalu kering hingga memerlukan air. Percikkan air pada kompos tersebut. Pelan-pelan, suhu dari starter tersebut akan meningkat dengan bekerjanya mikroorganisme yang mengubah sampah menjadi kompos.

Apakah sampah yang dimasukkan harus dicacah lebih dulu?
Ya, proses perubahan sampah organik menjadi kompos akan lebih cepat terjadi bila sampah yang berasal dari sayur ataupun buah-buahan dicacah terlebih dahulu.

Bahan-bahan apa saja yang bisa dimasukkan dalam Keranjang Takakura?
Sisa sayur dan sisa-sisa masakan ataupun buah-buahan. Caranya dengan memotong kecil-kecil (mencacah) buah ataupun sayuran. Upayakan memasukkan sayuran yang belum basi. Bila sayuran telah basi, cuci dulu sayuran tersebut, tiriskan, dan bisa dimasukkan ke komposter Takakura.

Berapa bulan Keranjang Takakura penuh dan bagaimana penanganannya bila sudah penuh?
Umumnya, keranjang Takukura penuh antara 2-4 bulan, tergantung jumlah sampah yang dimasukkan. Bila sudah penuh, ambil sepertiga bagian paling atas. Kompos yang diambil tadi didiamkan 14 hari, barulah bisa dipakai. Sedangkan yang tetap tinggal di keranjang, bisa dipakai sebagai starter untuk pengomposan kembali.

Apa fungsi-fungsi kardus dan bantal sekam pada unit komposter Takakura?
Kenapa dipilih kardus, karena kardus tidak kedap udara. Bisa saja diganti denga media lain, misalnya karpet. Sistem pengomposan Takakura tergolong aerob di mana bakteri tergantung pada pasokan udara. Kardus juga berfungsi sebagai perangkap starter kompos agar tidak tumpah, karena keranjang yang dipakai memiliki lubang yang relatif besar. Sedangkan bantal sekam di bagian bawah keranjang berfungsi sebagai penampung air lindi dari sampah bila ada, sehingga bisa menyerap bau. Bantal sekam juga berfungsi sebagai alat kontrol udara di tempat pengomposan agar bakteri berkembang dengan baik. *

Label:

posted by keranjangtakakura @ 10.43   0 comments
Profile Takakura
Pegiat di bidang lingkungan, khususnya sampah di Surabaya dan sekitarnya pasti telah mengenal Keranjang Takakura, yakni Komposter Skala Rumah Tangga. Takakura adalah salah satu penemu keranjang hasil kerjasaman riset antara Pusdakota, KITA Jepang, Pemkot Surabaya dan Pemerintahan Kitakyusu Jepang. Siapakah sebenarnya Takakura?

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket


Tampilan Takakura memang khas orang Jepang. Matanya sipit, kulitnya putih dan kalau bicara sangat santun. Sejak dua tahun lalu, dia bersama Tetsuya Ishida, koleganya dari KITA, paling tidak dua bulan sekali, mondar-mandir Kitakyusu – Surabaya. Dan di Surabaya, pastinya, dia ada di Pusdakota.

Kisah awal keterlibatan Takakura untuk riset komposting di Pusdakota cukup sederhana. Sehari-hari, suami dari Rumi ini bekerja di JPEC, perusahaan yang bergerak di bidang pembangkitan listrik di Hyogo, Jepang. Bidang khususnya adalah pemeliharaan dan penanggulangan polusi udara dan mengupayakan air bersih. Tetsuya Ishida, direktur divisi informasi global dari Kitakyusu International Techno-cooperative Association (KITA) Jepang mengajukan proposal ke JPEC berkaitan dengan tenaga ahli untuk kerjasama di Surabaya. JPEC pun menunjuk Takakura.

Takakura tak membayangkan kalau dirinya bakal sering bepergian ke Surabaya karena kerjasama dengan Pusdakota terus diperpanjang hingga saat ini. Kota yang bernama Surabaya pun baru ia dengar dari KITA. Jangankan Surabaya, informasi tentang Indonesia pun sedikit yang sampai kepadanya. Namun lulusan kimia terapan dari Himeji Institute of Technology Japan ini mau menerima kontrak tersebut. ”Saya tidak begitu pemilih. Bekerja di mana pun, yang penting adalah daya adaptasi. Kendati sebelumnya saya memimpikan bisa menerapkan ilmu di Inggris, Jerman, atau Swedia pada mulanya, tapi tapi Surabaya membuat saya jatuh hati,” ujarnya.

Apa yang membuatnya jatuh hati, ternyata adalah warga Surabaya antusias, kompak, dan hangat. ”Saya merasa aman, bagaikan di negeri sendiri, saat berkunjung ke kampung-kampung di Surabaya,” katanya.

Kendati ia tidak khawatir dengan perjalanan-perjalanannya ke Indonesia, justru istrinya yang waswas. Lebih-lebih berita-berita tentang Indonesia banyak yang tidak menyenangkan. Selalu istrinya berpesan agar Takakura hati-hati dengan banjir, gempa, atau teroris.

Takakura menceritakan kali pertama sampai di Surabaya. Saat menginjakkan kaki di sebuah hotel, dia melihat para security membawa pistol dan senjata tajam. Yang ada dalam pikirannya adalah, Surabaya kota yang berbahaya. Bahkan polisi pun dengan pistol yang tampak di pinggang cukup mengkhawatirkannya.

Bulan demi bulan berganti dan ia mondar-mandir Jepang-Indonesia. Di samping ke Surabaya, Takakura pun menginjakkan kakinya di Semarang, Pulau Dewata Bali, bahkan Medan. ”Sekarang saya sudah biasa berhubungan dengan orang Indonesia. Saya tidak lagi grogi dengan cara berpikir, agama, bahkan makanan yang berbeda. Saya kini bahkan sudah hapal semua sudut di Tunjungan Plaza Surabaya. Saya tahu di mana restoran yang paling enak,” ujar Takakura yang bila datang ke Surabaya menginap di sebuah hotel berbintang tak jauh dari plaza tersebut.

Apakah Takakura berniat mengajak keluarganya ke Surabaya atau wilayah lain di Indonesia?
”Saya ingin. Tapi istri saya enggan menempuh perjalanan jauh,” kata dari Azusa dan Nanami ini.

Takakura bersyukur mendapat rekan kerja Tetsuya Ishida yang menurutnya memiliki pendekatan pribadi yang baik terhadap rekan kerja dan relasi-relasinya. Yang dia kagumi dari Ishida adalah, pemikirannya yang baik, penuh ide baru. Ishida mampu melihat, mempelajari, dan menjadikan apa yang dipelajari sebagai miliknya. ”tapi yang paling menyenangkan adalah, dia tidak perokok. Sama seperti saya,” katanya sambil tertawa renyah.
**
Kendati bidang keilmuan yang dikuasainya cukup serius, namun sikap pria yang semasa kecilnya bercita-cita jadi pembalap ini jauh dari kesan serius. Komunitas di sekitar Pusdakota juga terkesan dengan sikap hangatnya. Sesekali ia berdua dengan Tetsuya Ishida datang ke kampung Rungkut, melihat-lihat keranjang Takakura yang dipakai warga. Sesekali pula keduanya mengantar para tamu asing yang besertanya, termasuk wartawan koran kenamaan Asahi Sibun.

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket
Warga Surabaya Antusias, Kompak, dan Hangat


Warga Rungkut Lor, dengan senang hati menerimanya. Para ibu, khususnya, senantiasa ingin mengenal lebih dalam ahli kompos ini. Kendati sudah tahu cara pemakaian keranjang Takakura, namun mereka masih juga bertanya. Takakura dengan sabar menjawab, ”Begini cara pakainya. Begini mengaduknya. Begini mencacahnya,” ujarnya sembari praktik dengan para ibu. Dan para ibu kampung yang bersahaja ini pastinya bertambah senang, mendapat kunjungan dari pakar kompos ini.

Apa pun makanan yang disajikan Pusdakota dan komunitas, pria kelahiran 27 April 1959 ini tak pernah menampik. Bahkan makanan pedas pun ia mau. ”Semuanya enak. Tapi saya paling suka kopi yang disajikan. Enak sekali,” ujarnya dalam bahasa Jepang kepada interpreternya. Ia memang penyuka kopi tanpa gula yang diminum dalam keadaan panas.
Takakura, bagi staf Pusdakota, memang tidak hanya mewarnai untuk bidang riset. Sentuhan-sentuhan manusiawinya sangat terasa. Kalau sedang senggang, misalnya, ia juga ikut memasak di dapur kantor lembaga ini. Masakan khasnya yang disukai staf Pusdakota adalah semacam kare ayam berbumbu kental dan mie. Semua bumbu yang dipakai adalah hasil improvisasinya.

Suatu kali dia membagikan cerita-cerita reflektifnya, lain hari, ia mengajarkan salah satu permainan kesukaannya di Jepang. ”Reikh.... reikh....”
Ada lagi kemahirannya yang tak jarang dipraktikkan untuk para staf Pusdakota, yakni pijat refleksi. Takakura menyentuhkan kayu serupa pensil ke beberapa titik di sekitar kaki atau tangan pasiennya. Seringkali satu atau dua titik yang disentuh akan terasa sangat sakit. Saat pasiennya menjerit-jerit,” Takakura tidak melepaskan kayunya, malahan memijat-mijat titik rasa sakit itu. ”Tenang, tenang, nggak apa-apa,” ujarnya menghibur.

Kepiawaiannya dalam hal pijat-memijat ditulari sang istri. ”Istri tangannya sangat menyembuhkan. Banyak orang yang minta bantuannya kalau sakit. Menurut istri saya, saya masih kasar kalau memegang pasien,” katanya.

Takakura memang piawai mengelola hubungan interpersonal dengan siapa pun. Ternyata, lulusan Himeji Institute of Technology jurusan kimia terapan ini memang gemar berorganisasi. Kini dia juga mengaktivasi kegiatan voluntary di bidang lingkungan hidup lewat kegiatan advisory-nya.

Sewaktu mahasiswa, ia juga dikenal sebagai aktivis kegiatan kampus. Tugasnya sebagai aktivis mahasiswa, antara lain juga merancang kegiatan-kegiatan kampus yang bersifat kemasyarakatan agar lebih menarik. ”Sama seperti yang dilakukan Pusdakota untuk komunitas,” katanya.

Kadang-kadang, ia harus menciptakan game menarik untuk acara kemping, misalnya. Lain kali, ia dituntut menciptakan lagu. Kalau saat senggang di Pusdakota, lagu-lagu atau game yang diciptakannya dibagikan kepada para staf Pusdakota.

Takakura yang punya moto pribadi ”Rajin, sungguh-sungguh menegrjakan, dan jujur” ini berharap, Surabaya semakin bersih. Ia juga ingin Surabaya semakin tampil mantap untuk tampil dengan identitasnya sendiri sebagai kota yang asri. ”Saya melihat, di Jepang sendiri spirit tradisional telah banyak hilang. Apa yang telah dimiliki Surabaya, terutama kekompakan warga, semoga tetap dijaga,” katanya. Untuk warga Rungkut Lor, ia berpesan untuk senantiasa menjaga kekompakan sebagaimana saat ini. ”Saya berharap selalu disambut hangat di Rungkut,” katanya. *vit

posted by keranjangtakakura @ 10.26   0 comments
Selasa, 09 Oktober 2007
Sembilan Hukum Keranjang Sakti Takakura
Sebaiknya kita tidak memperlakukan Keranjang Takakura sekadar teknologi. Berjuta-juta makluk tinggal dalam starter Keranjang Takakura. Makhluk-makhluk itu membantu kita mengurai sampah menjadi kompos. Maka, perlakukan ia dengan segenap kasih.

Orang sering abai mengolah sampah. Kenapa?

Bisa jadi berkait dengan rendahnya kesadaran bahwa sampah harus kita olah karena sampah adalah produksi kita sendiri, ciptaan kita sendiri. Pengabaian atas sampah sama dengan penafian atas produksi atau ciptaan kita yang berpotensi membunuh diri kita sendiri. Jika kesadaran ini hadir dalam diri seseorang, maka produksi sampah senantiasa akan masuk dalam hitungan pengelolaannya: ialah dengan bertanya dan bertindak bagaimana sampah ini menjadi tidak berbahaya dan tidak menimbulkan masalah bagi kehidupan.

Kedua, kesadaran bahwa terdapat banyak kategori jenis sampah yang masing-masing memerlukan perlakuan yang berbeda. Sampah organik ada yang mudah terurai dan lama terurai. Ada juga sampah organik yang mengandung bakteri berbahaya dan yang aman-aman saja. Sampah anorganik lebih banyak lagi variannya yang tergantung pada materi dasar yang menyusunnya. Ada juga sampah anorganik yang sangat berbahaya seperti menimbulkan radiasi dan yang tidak berbahaya. Masing-masing jenis sampah sungguh harus mendapat perlakuan yang spesial.

Ketiga, kesadaran bahwa masalahnya terletak pada perlakuan dan bukan pada sampah itu sendiri. Warga Kota Surabaya dan kota-kota besar di Indonesia lainnya sungguh tidak sadar akan hal ini, ialah bagaimana memperlakukan setiap jenis sampah, karena selama ini kesadaran tentang hal itu ditipu oleh sistem yang diberlakukan pemerintah kota dengan cara sekedar memindah masalah dari seluruh penjuru kota ke tempat pembuangan akhir. Di pembuangan akhir pun sampah tidak dikelola melainkan sekedar ditumpuk begitu saja. Dengan sistem itu orang sama sekali tidak tahu dan sadar bahwa sampah sungguh-sungguh membutuhkan perlakuan yang spesial. Dalam kesadarannya yang muncul hanyalah bahwa yang penting sampah tidak ada lagi di depan mata.

Tanpa ketiga kesadaran itu dapat dimengerti orang acapkali salah memperlakukan sampah, termasuk dalam menerapkan prinsip-prinsip Keranjang Sakti Takakura untuk mengolah sampah organik mudah terurai. Tetapi hal itu dapat dimengerti karena ini masih masa transisi. Justru karena itu pijar-pijar kesadaran baru sungguh penting untuk mendorong ke arah perubahan yaang lebih baik dan mencerahkan. Pijar-pijar kesadaran baru harus terus dieksplorasi sehingga terbitlah pelita kesadaran dalam nurani manusia yang senantiasa menerangi perjalanan.

Sembilan hukum Keranjang Sakti Takakura dirumuskan untuk tujuan itu. Perlakuan yang benar akan menghasilkan hasil yang baik, begitu juga sebaliknya.


Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket
-----------------------------------------------




















































No

Hukum



Analogi


1 Keranjang Sakti Takakura bekerja efektif untuk materi organik yang mudah terurai Persis sistem pencenaan manusia, efektif untuk materi organik yang mudah terurai. Orang bakal sembelit, juga Keranjang Sakti Takakura, bila mengasup materi organik yang sulit terurai, apalagi materi anorganik
2 Keranjang Sakti Takakura bekerja efektif bila materi organik mudah terurai yang dimasukkan berukuran kecil-kecil. Persis sistem pencernaan manusia, bekerja efektif bila materi oraganik mudah terurai yang masuk ke dalam saluran pencernaan berukuran kecil-kecil. Makanya orang perlu mengunyah makanan. Orang bakal sembelit, juga Keranjang Sakti Takakura, bila mengasup materi berukuran besar.
3 Keranjang Sakti Takakura bekerja efektif bila materi organik mudah terurai dimasukkan dengan cara diaduk-aduk dan dikubur. Persis sistem pencernaan manusia, bekerja efektif bila lambung berkontraksi secara teratur dan optimal agar makanan yang masuk menjadi semakin renik dan tercampur rata dengan berbagai enzim. Orang akan mules bila kontraksi tidak teratur dan optimal yang berakibat mencret tak terkendali. Keranjang Sakti Takakura juga akan mencret bila materi yang dimasukkan tidak diaduk dengan merata.
4 Keranjang Sakti Takakura bekerja efektif bila terjaga kelembabannya dengan cara memberi tambahan air bersih bila kering. Persis sistem pencernaan manusia, bekerja efektif bila cukup air. Orang akan sembelit, juga Keranjang Sakti Takakura, bila kekurangan air.
5 Keranjang Sakti Takakura bekerja efektif bila terjaga keberlanjutan proses penguraian dengan cara memasukkan materi organik mudah terurai secara rutin. Persis sistem pencernaan manusia, bekerja efektif bila terjaga keberlanjutan proses pencernaan dengan cara makan secara rutin. Orang akan menderita busung lapar, juga Keranjang Sakti Takakura, bila tidak mengasup materi organik dalam tempo lama.
6 Keranjang Sakti Takakura bekerja efektif bila diletakkan di tempat yang teduh. Persis sistem metabolisme manusia, akan optimal kinerjanya bila terjaga kelembabannya. Orang akan mengalami dehidrasi, juga Keranjang Sakti Takakura, bila terlalu lama di tempat kering tanpa cukup asupan air.
7 Keranjang Sakti Takakura terjaga keberlanjutan kerjanya bila sebagian materi hasil penguraian dikeluarkan ketika sudah penuh. Persis sistem pencernaan manusia, akan terjaga keberlanjutannya bila sebagian materi dikeluarkan dengan cara be-ol. Orang akan sembelit, juga Keranjang Sakti Takakura, bila tidak bisa be-ol, atau waktu be-ol ditahan-tahan.
8 Keranjang Sakti Takakura bekerja efektif bila pori-pori kerangjang terawat baik. Persis sistem metabolisme manusia, bekerja efektif bila pori-pori tubuh terawat baik sebagai saluran keluar masuknya cairan dan gas. Coba pakai baju besi: lima menit bakal pingsan! Coba tutup rapat Keranjang Sakti Takakura: jutaan hewan renik bakal mati dan keranjang tak sakti lagi!
9 Keranjang Sakti Takakura terjaga efektifitas kerjanya bila senantiasa terlindung dari infiltrasi predator. Persis sistem pencernaan manusia, terjaga efektivitas kerjanya bila mulut dan anus senantiasa tertutup alias tidak ndoweh. Orang akan mudah terserang penyakit, Juga Keranjang Sakti Takakura, bila tidak terlindung dari masuknya predator.

Salman Nurdin
Tulisan ini hasil reformulasi dari sekian penjelasan tentang Keranjang Sakti Takakura yang diterima penulis dan kristalisasi pengalaman sendiri setelah sekian lama menggunakan keranjang itu untuk mendekomposisi materi-materi organik mudah terurai.

Label:

posted by keranjangtakakura @ 08.39   0 comments
Komunitas Merakit Keranjang Takakura
Kewirausahaan Sosial Berbasis Kearifan Lingkungan, di Pusdakota, antara lain diwujudkan lewat perakitan Keranjang Pengomposan Takakura. Sebagaimana diketahui, Keranjang Pengomposan Takakura merupakan hasil riset antara Pusdakota, pihak Jepang dan Pemerintahan Kota Surabaya.

Keranjang ini dirakit dari bahan-bahan sederhana, antara lain keranjang, dua batalan sekam, kardus, kain, cetok, manual, dan kompos yang berasal dari sampah organik warga.

Memang, Keranjang Pengomposan Takakura merupakan terobosan teknologi tepat guna, yang tidak saja mampu menyelesaikan sebagian masalah sampah rumah tangga, namun juga diharapkan bisa mendukung hal-hal lain, misalnya pengembangan kewirausahaan berbasis kearifan lingkungan. Sebab, boleh dikata, keranjang takakura itu diversivikasi usaha pemasaran kompos.

Komunitas RW I Rungkut Lor Surabaya telah memilah dan mengolah sampah sejak tahun 2000. Sejak tahun 2000 - 2005, kompos yang dibuat dengan metode open windrow dipasarkan dalam bentuk kompos biasa, yang harga rata-rata per kg-nya tidak lebih dari Rp 1500. ”Tapi bila dipasarkan dengan Keranjang Takakura, harga bisa terdongkrak. Secara ekonomi komunitas yang terlibat juga ikut merasakan hasilnya,” kata Parwito sambil mengibaratkan bahwa kayu yang telah diubah jadi mebel lebih punya nilai jual ketimbang yang dijual dalam bentuk gelondongan.

Perakitan yang dikerjakan komunitas, antara lain pengisian sekam ke bantalan sekam, penjahitan bantalan sekam, pemotongan kardus, penyediaan manual, pembuatan cetok, dan pengisian kompos ke dalam keranjang. Semuanya dilakukan dibawah asistensi Pusdakota. ”Kami melakukan check and recheck atas Keranjang Takakura yang dirakit komunitas sebelum sampai ke pengguna,” kata Parwito.

Karena permintaan akan keranjang ini terus meningkat dari waktu ke waktu, komunitas di wilayah Rungkut Lor Surabaya mengerjakan perakitan tidak saja di Pusdakota, namun juga di rumah masing-masing. Perakitan keranjang juga melibatkan kaum difabel yang tergabung dalam Paguyuban Daya Mandiri, yakni forum kaum difabel di sekitar Rungkut Surabaya yang dibentuk Pusdakota sejak tahun lalu.

Saat merakit keranjang bersama-sama di Pusdakota, para perakit juga memperoleh manfaat tambahan. Staf Pusdakota, misalnya, juga mentransfer ilmu pembukuan sederhana, membibit yang baik, ataupun lain hal yang bersifat praktis dan bermanfaat bagi mereka.

”Perakitan juga menjadi ajang pertemuan dan sharing antarmereka,” kata Parwito.


Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket


Cetok Komunitas

Salah satu alat dalam Keranjang Pengomposan Takakura adalah cetok. Semula, cetok untuk Keranjang Pengomposan Takakura dipasok pabrik. Namun kini, cetok tersebut telah diupayakan pembuatannya oleh satu komunitas pecinta lingkungan, yakni Komunitas Bantaran Kali Bratang Surabaya.

Komunitas Bantaran Kali Bratang, Surabaya memang sangat kreatif. Berbagai macam sampah anorganik mereka daur ulang menjadi barang-barang yang berguna. Kaidah 3R dalam pengelolaan lingkungan, yakni Reuse, Reduce, dan Recycle sedapat mungkin mereka terapkann untuk lingkungan. ”Kami memang tinggal di bantaran kali. Tapi kami tidak ingin dianggap sebagai perusak lingkungan. Prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan kami usahakan bisa terapkan sampai ke lingkungan keluarga Kami mengelola sampah. Kami memanfaatkan barang-barang bekas ataupun mendaur ulang,” ujar Darsono, salah satu aktivis lingkungan hidup dari bantaran kali Bratang Surabaya.

Untuk masalah daur ulang barang bekas, mereka tidak hanya menghasilkan kerajinan dari bahan kayu bekas, keranjang pakaian yang berasal dari tali bekas, akan tetapi mereka juga mampu membuat cetok dari paralon bekas. Cetok yang mereka hasilkan, menjadi salah satu alat penting untuk Keranjang Takakura. Belakangan, mereka namakan cetok tersebut sebagai ”cekom”, yang artinya, cetok komunitas. ”Karena ide dan pengerjaan cetok ini dilakukan oleh komunitas,” ujar Sudarsono lagi.

Ide pembuatan cetok komunitas muncul setelah peluncuran Keranjang Takakura ke publik Surabaya. Semula, keranjang pengomposan hasil riset antara Pusdakota, KITA, Pemerintahan Kitakyusu dan Pemerintahan Kota Surabaya ini, memakai cetok hasil buatan pabrik. Sejak Komunitas Bantaran Kali memproduksi cekom, Pusdakota lebih memilih untuk memakai cetok mereka. ”Kadang-kadang kami pesan sampai 6000 cetok untuk ribuan keranjang,” ujar Parwito, staf Program Kewirausahaan Sosial Berbasis Kearifan Lingkungan, Pusdakota.

Supardi, salah satu warga bantaran kali mengaku, sejak adanya Keranjang Takakura dan perjumpaan intens Pusdakota dengan komunitasnya, di kalangan warga terjadi pelipatgandaan kreativitas. Barang-barang hasil daur ulang produksi warga pun jenisnya terus bertambah.

”Kami ingin mengubah persepsi bahwa warga bantaran kali hanya bisa demo. Persepsi masyarakat atas warga yang menghuni bantaran kali biasanya negatif. Kami dianggap sebagai biang kekumuhan kota dan penyebab banjir. Kami ingin buktikan bahwa kami bisa menjaga lingkungan dengan baik.,” ujar Haryono, warga yang lain.

Cetok komunitas dirakit dari bahan paralon bekas yang banyak terdapat di sekitar bantaran kali Bratang. Sebelum dibuat cekom, umumnya warga memanfaatkannya sebagai pot gantung untuk menanam bunga. Dan kini, setelah permintaan cekom terus meroket dari waktu ke waktu, warga rutin membuat cetok. ”Karena sampai kehabisan sisa paralon, kami memanfaatkan paralon baru juga,” ujar Haryono.

Cetok komunitas tak hanya menjalankan fungsi daur ulang barang bekas menjadi sesuatu yang bermanfaat ataupun menambah income keluarga, tapi yang paling penting adalah sarana silaturrahmi dan diskusi warga. ”Lewat pembuatan cetok, warga bertemu, membina kerukunan, bertukar pikiran dan kreativitas. ”Kini saban hari kampung penuh canda dan tawa. Tidak hanya para bapak, ibu-ibu dan remaja juga membuat cetok.

Seorang remaja mengaku, keinginannya untuk memiliki tas sekolah baru kesampaian setelah ia juga membantu membuat cetok.

Jujuk, salah satu ibu yang ikut membuat cetok menyatakan, memperoleh penghasilan Rp 90 ribu untuk pembuatan cetok selama 6 hari. Ia bekerja serabutan, mulai dari membuat pola, membuat gagang, atau menghaluskan.

Pembuatan cetok komunitas tidak sesederhana yang dikira. Prosesnya saja paling tidak ada 5 tahap, yakni: membuat pola, menggergaji, mengikir, menghaluskan, dan memasang ke gagang. Ini harus dilakukan dengan kecermatan tinggi.

Belakangan ini, cetok komunitas tersebut tidak hanya dipasarkan ke Pusdakota, namun mereka juga telah menerima pesanan dari berbagai pihak. ”Paling banyak dari toko-toko bunga,” ujar Supardi sembari berharap kreativitas warga terus meningkat dari waktu ke waktu. *vit

Label:

posted by keranjangtakakura @ 06.55   9 comments

Keranjang Takakura

Previous Post

Archives

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Saling berbagi kisah inspiratif akan membuka hati dan membangkitkan pintu-pintu kreativitas. Kirimkan pengalaman Anda memakai Keranjang Takakura ataupun kisah-kisah Anda yang berhubungan dengan kepedulian terhadap lingkungan ke office@pusdakota.org.

Kisah Anda bisa kami muat di media-media terbitan kami (blog ini ataupun Majalah Pendopo)

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 

Shoutbox


Free shoutbox @ ShoutMix

Jumlah Kunjungan

hit counter

Partner Link

Pusdakota

UBAYA

KITA

ECOTON

Alpha Savitri

Tirta Amartya

Terranet

Cakfu

iges

YDSF

menlh

bintari

UNESCAP

togarsilaban

balifokus